blog

“Face Negotiation” Negara Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Pengisian Kolom Agama Bagi Penghayat Kepercayaan

Written by Harris Sitorus | Feb 6, 2018 11:16:43 AM

PENGANTAR

Pada tanggal 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan sebuah putusan progresif terkait permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang dianggap mendiskriminasi anggota komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016,[1] tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Maria Farida Indrati, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai anggota, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Majelis Hakim Konstitusi dalam amar putusan menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[2] Melalui putusan tersebut, para pemohon uji materi yang berasal dari berbagai komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia tidak perlu mengosongkan lagi kolom agama pada KK dan KTP melainkan mencatatkan yang bersangkutan sebagai ‘penghayat kepercayaan’ tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP.[3]

Keputusan ini tentu melegakan Pemohon sekaligus kabar gembira bagi seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia. Para pemohon di masa mendatang akan mendapatkan hak konsitutisionalnya sama seperti warga negara lainnya. Sebelum terbitnya putusan MK tersebut, penghayat aliran kepercayaan kerap mengalami hambatan dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.[4] Kaum penghayat kepercayaan jamak menghadapi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman buruk tersebut telah disampaikan para pemohon Uji Materi: Nggay Mehang (pengikut Marapu), Pagar Demanra Sirait (Parmalim), Arnol Purba (Ugomo Bangso Batak), dan Carlim pengikut Sapto Darmo. Meminjam istilah yang diungkapkan oleh Cheris Kramarae (Em Griffin, 2012: 460), penghayat kepercayaan selama puluhan tahun telah menjadi muted group dimana ‘bahasa’ budaya tidak melayani semua penuturnya secara setara. Kaum penghayat kepercayaan tidak sebebas atau semaksimal kelompok lain dalam mengatakan apa yang mereka inginkan, karena kata-kata dan aturannya telah dirumuskan oleh kelompok dominan, dalam konteks ini kaum mayoritas penganut agama resmi yang diakui negara.

Meski pengaturan teknis serta implementasi pasca-Putusan masih harus dirumuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, pengakuan terhadap penghayat kepercayaan melalui Putusan tersebut menujukkan adanya ketepatan manajemen pengeloaan konflik serta  face negotiation antara negara (melalui Mahkamah Konstitusi) dan warganya. Negara berupaya melakukan manajemen konflik dan Putusan meningkatkan citra Negara melalui Mahkamah Konsitusi sekaligus menghindari face loss pada masing-masing pihak. Makalah ini berupaya menggambarkan secara deskriptif dan menganalisis Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 berdasarkan persepektif Face Negotiation Theory (FNT) yang dikemukakan oleh Stella Ting-Toomey.

 

PEMBAHASAN

Penpres No. 1/1965 dan Rezim Agama Resmi

Jika ditelusuri berdasarkan sejarah, problematika yang dialami penghayat kepercayaan merupakan residu dinamika hubungan antara negara dan warga negara pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah para pendiri bangsa berhasil melewati perdebatan apakah Indonesia sebaiknya menganut negara agama, negara sekuler atau kombinasi diantara keduanya, muncul situasi dimana negara harus mendefinisikan agama itu sendiri dan mengelola (potensi) konflik yang muncul antar-warga negara. Marak dan tumbuh suburnya aliran kebatinan/kepercayaan di Indonesia masa itu menimbulkan kekhawatiran sebagian kalangan karena dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agamanya. Human Right Watch mencatat, pada awal 1960-an, kalangan konservatif Muslim menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, yang dianggap “menodai” Islam.[5] Pemerintah Sukarno menyimpulkan bahwa diantara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama.[6]

Selanjutnya,  pada tanggal 27 Januari 1965, Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/ Atau Penodaan Agama (Penpres No 1/1965). Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, maka Penpres No. 1/1965 menjadi Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965. Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 Penpres No. 1/1965) agama-agama yang (resmi) dipeluk oleh penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu (Confusius).[7]

Melalui Penpres, terbuka jalan bagi terbentuknya rezim agama resmi serta penyingkiran agama-agama lokal dan aliran kepercayaan. Enam agama yang diakui secara yuridis oleh negara diberi perlakuan khusus. Dijelaskan dalam Lampiran Penjelasan Pasal 1 Penpres, selain mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, keenam agama juga akan mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal 1. Pada akhirnya, agama-agama selain keenam agama dimaksud, seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme mendapat pengecualian (exclusion), pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction). Hal ini dapat dilihat dari penjelasan selanjutnya yakni bahwa “agama-agama tersebut dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

 

Sumber: http://entreparentesis.org/wp-content/uploads/creencias-y-convicciones-480×343.jpg

 

Merujuk pada uraian di atas,  tampak telah terjadi penyempitan makna agama dalam bahasa politik-administratif pemerintah Republik Indonesia. Penyempitan makna religion sebagai agama mendapatkan kritik dari para ahli. Menurut Pandangan Amri Marzali, pemaknaan istilah ini adalah khas Indonesia.(Amri Marzali: 2016, 57). Michele Picard (2011a, 3) yang dikutip oleh Zainal Abidin Bagir (Samsul Maarif: 2016, 15) juga mengkritik  pemahaman berbagai kalangan di Indonesia yang memposisikan “agama” sebagai hasil terjemahan literal untuk “religion” Padahal, menurutnya, “agama” mencakup medan semantik yang jauh lebih sempit ketimbang “religion”, dan untuk yang belakangan ini orang Indonesia harus meminjam kata “religi” dari bahasa Belanda. Lebih lanjut Picard, dalam kenyataannya, “agama” adalah konsep yang dibungkus dalam bahasa Sansekerta, namun merupakan kombinasi antara pandangan Kristen tentang apa yang dianggap sebagai agama dunia dengan pemahaman Islam tentang apa yang mendefinisikan agama sesungguhnya: yaitu, wahyu ilahiah yang disampaikan kepada seorang Nabi dan dicatat dalam suatu kita suci, sistem hukum bagi umat yang meyakininya, peribadatan berjamaah, dan keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa”. Definisi agama yang mempersyaratkan adanya nabi, ajaran yang jelas serta kitab suci  juga telah meminggirkan keberadaan para penganut agama dan kepercayaan lokal (Interfidei: 2010, 4).

Dengan demikian, Penpres No. 1/1965 sejak penerbitannya menyiratkan 2 hal, yaitu pertama, mencerminkan perubahan posisi negara menjadi hanya mengakui 6 agama resmi dan kedua, negara tidak mengakui aliran kepercayaan/kebatinan sebagai sebuah agama atau sederajat dengan agama. Keberpihakan a la  pemerintahan Sukarno ini dipertahankan sebagai hukum positif oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.

Persepsi Atas Penghayat Kepercayaan

Meski telah diterbitkan Penpres No. 1/1965, dinamika hubungan sosial intra-agama dan antar-agama serta kepercayaan tidak pernah mencapai titik kulminasi. Upaya melakukan interpretasi secara intra-agama maupun praktik-praktik keagaamaan/kepercayaan oleh agama/kepercayaan non ‘resmi’ tetap berlangsung. Pengaruh persepsi dalam hubungan tersebut kadangkala menghasilkan konflik terbuka, terutama terhadap ajaran yang dianggap telah menyimpang dan menodai agama. Persepsi komunitas keagamaan dibentuk oleh  proses kognitif yang dialami oleh anggota komunitas (penganut agama/kepercayaan) dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Oleh beberapa ahli persepsi didefinisikan sebagai: “pengetahuan yang tampak mengenai apa yang di luar sana (J. Cohen); proses menafsirkan informasi indriawi (Rudolph F. Ferderber); atau cara organisme memberi makna (John R. Wenburg dan William W. Wilmot).[8] Persepsi mengambil bentuk berupa stereotip dan prasangka (prejudice).

Persepsi lahir dari subproses yang kompleks. Lebih lanjut oleh Aang Ridwan, persepsi muncul berdasarkan pengalaman, seleksi, dugaan maupun berdasarkan evaluatif. Awal terjadinya persepsi adalah ketika seseorang dihadapkan pada sebuah situasi atau stimulus. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seperti faktor belief (keyakinan seseorang), nilai yang dianutnya, serta sikap seseorang. Ada pula faktor yang mempengaruhi pemilihan persepsi seperti intensitas stimulus, ukuran obyek, keberlawanan, pengulangan gerakan maupun kebaruan stimulus. Persepsi juga dipengaruhi oleh kepentingan sehiingga bisa berupa manipulasi.

Stereotip dan prasangka adalah bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi. Stereotip menggeneralisasi seseorang atau suatu kelompok berdasarkan sikap dan sifat, yang bisa positif maupun negatif. Sementara itu, prasangka (prejudice) merupakan penilaian yang bersifat negatif berdasarkan kategori gender, etnisitas, agama, ras, aliran kepercayaan, aliran politik dan kategorisasi sosial lainya. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif dari prasangka, sedangkan prasangka berdimensi perilaku. Sebagai dimensi perilaku, maka prasangka dapat dimanifestasikan dalam bentuk antilokusi, menghindari seseorang/kelompok, permusuhan, bahkan penyerangan fisik maupun tindak diskriminasi.

Di hadapan agama-agama pendatang, persepsi yang muncul berupa stereotyping bahwa agama-agama dan kepercayaan lokal lebih rendah, primitif, tradisional, tidak rasional, kolot, animis, dinamis, praktik syirik, praktik kafir yang harus dibasmi (Interfidei: 2010: 5; Samsul Maarif: 2016, 40). Secara lebih spesifik dalam kasus penghayat kepercayaan di Sumatera Utara, prasangka pada penghayat Parmalim memunculkan julukan Si Pele Begu (Pemuja atau Penyembah Hantu/Setan, Pen.) (Baca Ahmad Syafii Mufid, 2012: 15). Tidak mengherankan, sebagai bentuk kegagalan persepsi yang mengambil bentuk berupa stereotyping dan prasangka, para penghayat kepercayaan yang bersikukuh mencantumkan keyakinan dalam administrasi kependudukannya mengalami kesulitan mendapat pelayanan publik dari negara,  seperti: kesulitan mengakses pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan mengakses dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, KK, Akta Nikah, dan akta kelahiran. Bahkan, pemakaman keluarga Pemohon IV ditolak di pemakaman umum manapun di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Pengakuan Identitas dan Hadirnya Negara

Dalam memandang Putusan Mahkamah Konstitusi, patut dirujuk sebuah teori populer mengenai komunikasi antarabudaya. Stella Ting-Toomey, seorang professor dari Arizona State University pada tahun 1988 melansir sebuah teori yang dinamakan Teori Negosiasi Muka (Face Negotiation Theory/FNT) dengan mengembangkan pemikiran Goffman (1955) dan Brown dan Levinson (1987) (Oetzel: 2003, 600). Teori ini menngangkat masalah penting face (muka/wajah) dalam berkomunikasi dengan pihak lain, termasuk dalam kaitannya dengan manajemen konflik. Istilah  face ini pada dasarnya adalah metafora untuk citra diri publik kita atau cara kita ingin orang lain melihat dan memperlakukan kita.

Menurut Toomey, FNT memberikan kerangka penjelasan yang gamblang untuk menjelaskan perbedaan dan kesamaan dalam muka/wajah (face)  dan pekerjaan muka (facework) selama terjadinya suatu konflik. FNT berpendapat bahwa: (a) orang-orang di semua budaya mencoba untuk mempertahankan dan menegosiasikan muka/wajah di semua situasi komunikasi; (b) konsep wajah menjadi sangat bermasalah dalam situasi ketidakpastian (seperti situasi malu dan konflik) ketika identitas para komunikator yang ditempatkan dipertanyakan; (c) variabilitas budaya, variabel tingkat individu, dan variabel situasional mempengaruhi pemilihan anggota budaya dari satu rangkaian masalah wajah terhadap orang lain (seperti self-oriented face-saving vs other-oriented face-saving); dan (d) kemudian, menghadapi kekhawatiran mempengaruhi penggunaan berbagai strategi kerja dan konflik dalam pertemuan antarkelompok dan interpersonal. Versi FNT saat ini memiliki 32 proposisi (Ting-Toomey & Kurogi, 1998). Proposisi ini berfokus pada perbandingan perilaku konflik antara variabel budaya seperti individualisme/kolektivisme (1-20) atau memberi kesan hubungan antara variabel tingkat individu (misalnya, self-construal) dan gaya konflik (21-32).

Ditambahkan Em Griffin (Em Griffin, 2012:407) menjelaskan FNT yang dikembangkan Ting-Toomey membantu menjelaskan perbedaan budaya dalam merespon suatu konflik. Maka dari hal ini muncullah istilah facework, yang berarti “penyampaian pesan verbal dan nonverbal spesifik yang membantu menjaga dan mengembalikan kehilangan muka (face loss), dan untuk menegakkan dan memperoleh wajah yang penuh kehormatan.” (Em Griffin, 2012:407). Secara sederhana, dalam teori ini, “muka” adalah metafora untuk citra diri yang ingin ditampilkan. Face Negotiation Theory menekankan tiga perhatian utama: pertama, Self-face bermakna menekankan perhatian pada citra diri sendiri; kedua, other-face memberi perhatian pada citra orang lain; ketiga, mutual-face menekankan pada  citra kedua belah pihak atau citra hubungan (Ting-Toomey & Kurogi, 1998 dalam Oetzel: 2003, 603).

Dalam konteks Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, dapat ditelusuri, sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa kasus diskrimininasi terhadap penghayat kepercayaan pada dasarnya merupakan kasus yang berkaitan erat dengan kebijakan resmi negara selama lebih kurang 52 tahun, yakni sejak diterbitkannya Penpres No. 1/1962. Maka jika ditinjau dari posisi anggota komunitas penghayat kepercayaan atau Pemohon, pada dasarnya uji materi tersebut adalah bentuk gugatan kepada Negara yang dianggap lalai atau telah menerapkan kebijakan yang salah selama puluhan tahun.

Melalui uji materi sebagai facework, para Pemohon menegosiasikan citra yang ingin ditampilkan negara dalam penanganan warga negara dengan latar belakang penganut aliran kepercayaan (penghayat). Uji materi merupakan media penyampaian pesan verbal dan sekaligus nonverbal untuk membantu menjaga dan mengembalikan kehilangan muka (face loss) Negara, serta menegakkan dan memperoleh wajah yang penuh kehormatan pada kedua belah pihak. Dengan pengelolaan konflik pola kompromi (compromising), penghayat kepercayaan menempuh jalur hukum dilengkapi dengan pertimbangan hukum dan alat-alat bukti pendukung secara memadai. Para Pemohon meminta tafsir yang benar sesuai Konstitusi tentang jaminan persamaan tiap-tiap warga negara di muka hukum. Meski secara formal hanya mewakili dirinya, di sini, para Pemohon dalam konteks identitas sosial dapat dipandang juga sebagai representasi atau simbol identitas sosial seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia.

Tanggapan Mahkamah Konstitusi berupa Putusan, cukup menarik untuk dikaji. Putusan tersebut, disamping sebagai sebuah produk hukum yang didasarkan pertimbangan hukum tertentu, melakukan self-oriented face-saving. Sebagaimana diulas di atas, akar penyebab terjadinya diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan adalah pendefinisian agama yang khas oleh pemerintah. Definisi khas tersebut dituangkan dalam Penpres No. 1/1965 atau UU No. 1/PNPS/1965. Undang-undang ini telah pernah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012 dan dinyatakan ditolak berdasarkan Putusan Nomor 84/PUU-X/2012 yang telah ucap pada tanggal 19 September 2013. Artinya, Negara melalui Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa meski hak mendasar warga negara terkait kebebasan beragama/berkeyakinan tetap menjadi masalah, namun negara memberi jaminan bagi warga negara penghayat kepercayaan untuk tetap memperoleh administrasi kependudukan sebagaimana warga negara lainnya. Adapun terkait hak-hak sipil lainnya kan ditentukan kemudian atau tetap dalam status quo.

Ditinjau dari sudut lain, Putusan tersebut juga menandakan terselamatkannya kepentingan dan martabat penghayat kepercayaan dan negara (mutual face). Di sini tampak bahwa masing-masing pihak berupaya untuk saling memahami dan melakukan negosiasi dan pengelolaan konflik yang bersifat integratif (integrating). Dalam alam pikir timur yang mengedepankan budaya kolektif, masyarakatnya cenderung lebih menyukai gaya penghindaran konflik/kebiasaan. Di tengah kondisi ini, negosiasi muka dengan hasil yang bermartabat bagi kedua belah pihak (mutual face) menjadi solusi yang paling tepat.

 

PENUTUP

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengadili perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersifat progresif. Melalui Putusan, Mahkamah Konstitusi menyelamatkan citra negara (face saving). Putusan tersebut memperbaiki citra Negara yang beberapa tahun belakangan diwarnai meningkatnya sektarianisme keagamaan dan kerap mengambil bentuk berupa kekerasan fisik maupun psikis terhadap penganut agama maupun aliran agama yang berbeda. Melalui Putusan, negara membuktikan imparsialitas dan menunjukkan wajah yang melindungi Hak Asasi Manusia segenap warga negara dengan berbagai latar belakang agama/kepercayaan, termasuk pada muted groups. Hak beragama kaum penghayat kepercayaan secara implisit diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Pasca-Putusan, tantangan tentu saja saja masih menghadang.

 

Harris Sitorus (Twitter: @harrissitorus). Ditulis pada 18 Desember 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Griffin, Em. A First Look At Communication Theory Eighth Edition. McGraw-Hill: New York, 2012.

HRW, (2013). Atas Nama Agama | Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia. [online] Available at: https://www.hrw.org/id/report/2013/02/28/256413 [Accessed 17 Dec. 2017].

Interfidei. Newsletter Edisi No. 9/IV April – Juli 2010. Interfidei: Yogyakarta, 2010.

Maarif, Samsul (Ed.). Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman. CRCS: Yogyakarta, 2016.

Mahkamahkonstitusi.go.id. (2017). Putusan 97/PUU-XIV/2016. [online] Available at: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016.pdf [Accessed 17 Dec. 2017].

Marzali, Amri. Agama dan Kebudayaan. Jurnal Umbara: Volume 1 (1) Juli 2016.

Mufid, Ahmad Syafii. (Ed.). Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI: Jakarta, 2012.

Oetzell, John G., Stella Ting-Toomey. Face Concerns in Interpersonal Conflict, A Cross-Cultural Empirical Test of the Face Negotiation Theory. Communication Research, Vol. 30 No. 6, December 2003 599-624. DOI: 10.1177/0093650203257841

Ridwan, H. Aang. Komunikasi Antarbudaya: Mengubah Persepsi dan Sikap Dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia. Pustaka Setia Bandung: 2016.

Samovar, Larry A., Porter, Richard E., Edwin R. McDaniel. Intercultural Communication: A Reader (13th Edition). Cengage Learning: Wadsworth, 2012.

Stella Ting‐Toomey, Ge Gao, Paula Trubisky, Zhizhong Yang, Hak Soo Kim, Sung‐Ling Lin, Tsukasa Nishida, (1991) “Culture, Face Maintenance, And Styles Of Handling Interpersonal Conflict: A Study In Five Cultures”, International Journal of Conflict Management, Vol. 2 Issue: 4, pp.275-296, https://doi.org/10.1108/eb022702

[1] Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016

[2] Ibid

[3] Kompas.com. (2017). MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis “Penghayat Kepercayaan” – Kompas.com. [online] Available at: http://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/13020811/mk-kolom-agama-di-ktp-dan-kk-dapat-ditulis-penghayat-kepercayaan [Accessed 17 Dec. 2017]. Terdapat informasi yang berbeda-beda di media massa mengenai teknis pengisian kolom di masa depan. Penulis samasekali tidak menemukan butir putusan terkait hal tersebut dalam Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

[4] Sebagian keluhan penghayat kepercayaan ini dapat dibaca dalam buku terbitan Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, Jakarta 2012 dengan judul “Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan di Indonesia”. Buku tersebut merupakan hasil riset pada 6 aliran Kepercayaan di Indonesia, yakni Kepercayaan Parmalim di Kabupaten Samosir dan Toba Samosir Sumatera Utara, Kepercayaan Suku Anak Dalam di Kec. Mestong Kab. Muara Bungo Jambi, Kepercayaan Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu Jawa Barat, Kepercayaan Masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora Jawa Tengah, Kepercayaan Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan.

[5] HRW, (2013). Atas Nama Agama | Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia. [online] Available at: https://www.hrw.org/id/report/2013/02/28/256413 [Accessed 17 Dec. 2017].

[6] Lihat Lampiran Penjelasan Penpres No 1/1965.

[7] Setelah tergulingnya Sukarno dan berkuasanya Orde Baru, agama Konghucu disingkirkan secara administratif berdasar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 477/ 74054 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui resmi oleh pemerintah adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.

[8] H. Aang Ridwan. Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Setia: Bandung, 2016. Hlm. 90.